CAMBRIDGEDEVELOPMENT.ORG – Chelsea Rajin Hormat Juara: Antara Respek atau Nasib Apes? Sudah bukan rahasia lagi, setiap kali tim lawan keluar sebagai juara, Chelsea belakangan ini kerap jadi tim yang berdiri rapi sambil bertepuk tangan. Guard of honour alias barisan penghormatan pun jadi pemandangan yang akrab. Tapi, semakin sering momen itu terjadi, makin banyak juga yang bertanya: ini bentuk respek sejati atau justru tanda kalau Chelsea makin jauh dari kejayaan?
Barisan Rapi, Hasilnya Sepi
Tak bisa dimungkiri, istilah guard of honour sebenarnya adalah gestur kelas tinggi. Tim yang memberi penghormatan biasanya menghargai lawan yang sudah memastikan gelar lebih awal. Tapi kalau itu kejadian terus-menerus, rasanya mulai janggal. Chelsea, tim dengan sejarah gelar bergengsi, sekarang malah sering jadi tim yang membuka jalan untuk selebrasi orang lain.
Misalnya saja, saat Manchester City juara, Chelsea langsung siap membentuk barisan. Ketika Liverpool di masa jayanya, lagi-lagi Chelsea ikut tepuk tangan. Dan jangan lupakan Arsenal yang sempat bikin suasana Stamford Bridge seperti panggung pamer piala. Kalau dihitung-hitung, sudah berapa kali klub asal London ini berdiri sambil menahan rasa?
Dulu Lawan Tangguh, Sekarang Sering Tepuk Tangan
Melihat ke belakang, era kejayaan Chelsea tak terbantahkan. Dari tangan Mourinho, Ancelotti, sampai Conte, gelar demi gelar mampir ke lemari trofi. Tapi sekarang, tim yang dulunya menebar ancaman di seluruh Inggris itu justru rajin memberikan penghormatan.
Bukan berarti tidak respek terhadap budaya sepak bola. Namun, ada perasaan yang sulit dibantah, bahwa momen itu seperti mencerminkan pergeseran kekuatan. Chelsea yang dulu mengontrol jalannya liga, sekarang malah terlihat seperti penonton tetap pesta juara tim lain. Apakah ini hasil regenerasi yang belum matang? Atau justru kesalahan arah sejak era baru kepemilikan dimulai?
Hormat Tapi Tidak Bangkit
Yang bikin fans makin resah adalah kenyataan bahwa Chelsea belum juga memperlihatkan tanda-tanda bangkit total. Ya, ada momen bagus. Ya, ada perekrutan besar. Tapi hasilnya tetap naik-turun. Di tengah liga yang makin kompetitif, nama besar saja tak cukup. Harus ada kejelasan, nyali, dan tentunya, arah yang pasti.
Chelsea memang bukan tim kecil. Namun, posisi di klasemen sering bikin sakit kepala. Lebih parahnya lagi, setiap musim tampak seperti eksperimen yang belum menemukan ramuan tepat. Pelatih datang dan pergi, pemain silih berganti, tapi performa masih belum stabil. Dalam situasi seperti ini, penghormatan kepada juara lain justru terasa menyentil.
Apakah Ini Bentuk Elegan atau Alarm Bahaya?
Sebagian pihak berpendapat, momen-momen hormat itu menunjukkan kelas Chelsea. Tidak semua klub bisa merelakan ego mereka dan memberi apresiasi. Namun, sisi lain berbisik lirih: “Ini bukan hanya soal respek. Ini juga sinyal bahwa klub sudah terlalu lama tak jadi pusat sorotan.”
Sepak bola memang bukan soal menang terus. Tapi, kalau kalahnya konsisten, lalu sambil bertepuk tangan menyambut juara lain, bagaimana bisa fans tetap tenang? Apalagi, ketika melihat rival-rival lain justru sedang meroket.
Dalam situasi ini, wajar jika muncul kebingungan: apakah Chelsea sedang bersiap bangkit dalam diam? Ataukah mereka memang tersesat dalam labirin proyek ambisius yang belum jelas arah dan tujuan?
Kesimpulan
Chelsea masih jadi nama besar. Namun, bayangan masa lalu yang penuh kejayaan semakin kabur ketika barisan penghormatan makin sering terjadi. Antara respek dan rasa frustrasi, fans kini menatap musim demi musim dengan harapan yang kadang cuma berakhir di garis start.
Jika klub ini ingin kembali jadi pembuat sejarah, bukan cuma saksi sejarah, maka saatnya berhenti jadi tim yang berdiri di lorong sambil bertepuk tangan. Karena, dalam sepak bola, tempat paling layak bukan di sisi jalan, tapi di tengah lapangan, mengangkat trofi, dan bikin lawan yang berdiri memberi penghormatan. Chelsea harus berhenti jadi penonton dan mulai merebut kembali panggungnya.